Sebuah Cerpen:
Dadanya berdentum-dentum tatkala terbayang perjalanan Linggom dan Riana menuju gereja—diikuti rombongan orangtua, handaitolan, tetangga–yang harus melintasi jalan di depan rumahnya.
[cerpen ini ditulis dengan apik oleh Suhunan Situmorang, seorang Pengacara sekaligus novelis. Novel pertamanya telah terbit dengan mengusung judul “SORDAM”. Dalam cerpennya kali ini, yang dikirim ke imelku, Suhunan coba memberi perenungan bahwa Cinta tidak selamanya bersatu. Harus disikapi dengan bijak, dan pantang bersurut jalan. Aku menyukai tema cerpen ini, apalagi dituturkan dengan pemilihan kata-kata puitik yang tak terkesan narsis…]
Oleh: Suhunan Situmorang
TARINA sadar malam sudah tua, namun resah yang sudah berbilang minggu menggelinjang di hatinya, membuat dirinya tak bisa tidur. Dibukanya lagi jendela depan rumah kayu berkolong itu seraya melepas pandang ke hamparan sawah dan danau yang samar-samar terlihat di kejauhan. Malam tak begitu gelap, bulan purnama merayap ke ufuk barat. Sunyi malam sesekali diusik suara jangkrik.
Keluhnya mendesah lagi. Dalam. Terngiang percakapan dengan ayah-ibu, adik-adik dan kerabat dekat mereka di kampung itu; percakapan bermuat kecewa dan juga amarah atas tindakan Linggom yang tinggal hitungan jam akan menikahi Riana. Namun, walau sempat tersungkur akibat perbuatan kakak kelasnya di SMA itu, semampunya ia redam emosinya agar tak ikut menghujat Linggom. Mungkin maksudnya agar kekecewaan dan kemarahan orangtua, saudara-saudara dan juga kerabatnya, tak terlalu parah; barangkali pula karena cintanya pada lelaki yang hampir sewindu merajut asmara dengan dirinya itu belum seluruhnya sirna. Ketika orang-orang yang menyayanginya itu gencar menyumpah Linggom, rekaman masa lampaunya malah menari-nari di benaknya.
Linggom adalah lelaki pertama dan satu-satunya yang mampu membuat dadanya bergelora, yang menghibahinya perasaan-perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Terlintas masa-masa mereka kuliah di Medan, menjalin cinta di tengah keprihatinan, berjuang bersama demi menggapai cita-cita. Juga masa-masa ketika sama-sama mencari pekerjaan di Batam, di mana Linggom harus menitipkannya di kamar kos sepupu perempuannya—buruh sebuah pabrik elektronik—karena tak cukup uang menyewa kamar, sementara Linggom sendiri harus berpindah-pindah dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Mereka saling menghibur manakala lamaran kerja ditolak perusahaan yang dipinang, juga tatkala uang untuk membeli nasi, membuat pasfoto dan biaya fotocopy, atau ongkos angkot mencari pekerjaan, kian tipis. Lalu, setelah mendapat pekerjaan dan mendapat gaji, mulai menabung untuk mewujudkan sebuah impian yang mereka bangun sejak kuliah: menikah di Samosir dengan prosesi gereja dan adat nagok.
Linggom sudah meruntuhkan impian mereka dalam sekejap. Pengakuannya, ia dipaksa ibunya menikahi Riana, perempuan yang masih terbilang pariban-nya. Padahal selama ini tak pernah ia katakan ikhwal keinginan ibunya itu, bahkan seingat Tarina tak sekalipun pernah ia sebut Riana, perempuan yang lahir dan besar di Lubuk Pakam, perawat di RS Pringadi, Medan itu . Kata tetangga dan kerabatnya, ibunya Linggom-lah yang melamar Riana dan kebetulan langsung mau. Bahkan orangtua Riana bersedia pula pesta adat pernikahan putri mereka dilangsungkan di Hatoguan dengan cara taruhon jual.
Berhari-hari Tarina lunglai, bahkan hingga kepulangannya ke Hatoguan masih sulit percaya bahwa Linggom bukan lagi miliknya. Orangtua dan kawan-kawannya di Batam sebetulnya keberatan ia pulang, karena menurut mereka hanya menambah luka batin, sementara yang melukainya bersenang-senang dengan perempuan lain. Ia mampu memenangkan pergumulan batinnya, betapapun belum seluruhnya percaya bahwa Linggom akan sungguh-sungguh menikahi perempuan lain. Yang sempat membuat dirinya bingung adalah menentukan kado yang tepat untuk Linggom, walau akhirnya ia putuskan memberi ulos bittang maratur; dengan harapan, Linggom akan bahagia bersama istrinya, memiliki putra-putri.
Orangtua dan adik-adiknya kaget sekaligus gembira ketika ia tiba. Mereka memang sempat cemas memikirkan Tarina. Wajah ayah-ibunya terlihat lega setelah melihat senyum dan cara bicara Tarina yang seolah tak menanggung pikiran berat. Seusai makan malam, ayah dan lima kerabat dekat mereka, coba menyabarkan hatinya, walau nadanya bermuat amarah. Kata mereka, umur Linggom saja yang sudah dewasa, pikiran dan sikapnya masih kanak-kanak. Ia bukan lelaki sejati sebab tak bisa menetapkan sikap sendiri; karenanya ia bukan lelaki yang tepat untuk mendampingi Tarina hingga saur matua.
Orang-orang di Hatoguan tahu, putusnya hubungan Linggom dengan Tarina, semata-mata disebabkan persoalan orangtua mereka. Ayah Tarina dan ayah Linggom yang sama-sama guru di SMP Hatoguan dan sintua di gereja mereka, sekitar 15 tahun lalu terlibat pertikaian hebat akibat ulah petinggi gereja—yang juga mengimbas ke hampir semua jemaat dan pengurus gereja Batak Protestan itu. Bertahun-tahun dua kelompok itu berseteru, memperebutkan bangunan gereja yang diklaim masing-masing kubu sebagai pemilik yang absah.
Ketika konflik antarjemaat gereja itu berkobar, Tarina masih gadis kecil murid kelas empat SD dan Linggom kelas enam. Sebagaimana anak-anak lain seumuran mereka, kedua bocah itu tak cukup paham akar persoalan yang mengakibatkan maraknya api perseteruan orangtua mereka. Cinta mereka tumbuh alamiah dan bersemi ketika Tarina kelas satu SMA dan Linggom kelas tiga di SMA 1 Pangururan—walau baru setahun kemudian mereka ikrarkan. Mereka pikir permusuhan orangtua mereka sudah menguap. Ternyata tidak bagi orangtua Linggom. Kesumatnya tetap membara hingga masa tuanya menjelang.
***
PIKIRAN Tarina masih terus mengelana dan akhirnya tiba di sebuah ruang dormitory milik perusahaan asing tempatnya bekerja; tempat tubuhnya biasa berehat usai kerja. Foto-foto Linggom tak lagi ikut menghuni kamar sempit itu. Sebelum kepulangannya ke Samosir, kesemua gambar lelaki itu, termasuk foto kesukaannya saat mereka pesiar ke pantai Bintan, sudah ia singkirkan. Mendadak pula ia minta cuti dari kantornya dengan alasan neneknya sakit keras—yang sebetulnya sudah lama mati.
Ia tak merasa sayang lagi mengeluarkan delapan ratus ribu rupiah untuk ongkos perjalanannya ke Samosir, juga membelanjakan sekitar tiga setengah juta untuk membeli oleh-oleh bagi kedua orangtua dan ke-empat adiknya. Tadinya, uang yang dua tahunan susah-payah ditabungannya itu akan ia serahkan pada ibunya untuk membiayai pesta pernikahannya. Setengahnya kini sudah dikuras; anehnya ia merasa puas.
Dan, dua potong kebaya dan sarung Palembang yang susah-payah dicicilnya dari Inang boru Gultom pedagang kain di Batu Ampar itu, telah ia serahkan pada ibunya, diberikan berikut oleh-oleh lain yang dibawanya dari Batam. Ibunya tertegun saat menerima dua potong bahan kebaya dan sarung yang berkilauan itu. Perempuan 40 tahunan itu tentulah tahu, kendati tak ada yang memberitahu, kebaya dan sarung yang baginya termasuk barang mewah itu sedianya dibeli Tarina untuk busana pernikahannya. Sepasang untuk acara martumpol, satu lagi untuk acara pamasu-masuon di gereja sekaligus pesta adat.
Ibunya tak kuasa pula menutupi galau hatinya ketika memperlihatkan selembar ulos bittang maratur yang pekan lalu ia beli di pasar Mogang atas pesanan putri sulungnya. Tarina tahu hati ibunya pastilah teriris-iris saat memilih ulos tersebut, karena mestinya ulos untuk dirinya dan Linggom-lah yang dibeli—yang diberikan saat upacara adat perkawinan mereka.
Sampai percakapan mereka berujung karena malam sudah membubung, ibunya tak menyinggung perihal kebaya dan sarung berjenis songket Palembang pemberian Tarina itu. Perempuan beranak lima itu cuma membekapkan bungkusan besar itu ke dadanya, lalu beringsut menuju kamar tidurnya. Ketika Tarina memasuki kamar adik-adiknya yang bersebelahan dengan kamar tidur ibunya, dari sela gorden kusam yang menjuntai di atas kusen pintu, tertangkap matanya ibunya rebah di atas dipan dengan lengan kanan menggeletak di kening, sementara lengan kirinya menindih bungkusan berisi kebaya dan sarung itu di atas perutnya.
Tarina bisa menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di benak ibunya, juga meraba kepedihan hati perempuan yang amat disayanginya itu. Sebetulnya amat ingin ia bicara, memohon agar ibunya tak lagi menyesali sesiapa pun atas kegagalan pernikahannya; semata-mata karena Linggom memang bukan jodohnya. Niatnya terganjal karena kedua adiknya, Sinta dan Romauli, mengajaknya berbincang seraya meluapkan rindu bersama.
Sinta, adik di bawahnya persis dan guru SD di Tebing Tinggi, agaknya sengaja memilih topik pembicaraan seputar pekerjaan Tarina dan suasana kehidupan di Batam; sementara Romauli, pelajar SMA kelas tiga itu, lebih suka meneruskan kecaman pada Linggom, yang dikatakannya pengecut dan penipu. Tak lupa Romauli mengimbuhkan betapa kegagalan pernikahan Tarina dan Linggom menjadi bahan pergunjingan menarik di seantero Hatoguan, bahkan menyebar hingga Palipi. Di sawah, pasar, kedai, danau, apalagi saat kaum perempuan bermalas-malas sambil mencari kutu di tangga depan rumah mereka, ketidakjadian Linggom mengawini Tarina itulah bahan gunjingan utama.
Tarina bersikap tenang saat Romauli dengan emosional menyampaikan tanggapan orang-orang. Ditambahkannya pula bahwa menurut penilaian orang-orang, perempuan yang akan diperistri Linggom itu tak lebih cantik dari Tarina; harga dirinya pun dianggap rendah sebab mau dinikahi lelaki yang seumur hidupnya belum pernah dikenal. Selama Romauli bercericau, Tarina hanya senyum walau sesekali mendenguskan napas panjang. Bisa dimakluminya kekecewaan Romauli, sebagaimana ayah-ibu dan semua kerabatnya. Bisa pula dipahaminya alasan-alasan mereka menuduh Linggom lelaki pengecut yang tak bertanggungjawab.
Tapi ia tak ingin bila adik-adiknya, apalagi ayahnya, semakin beringas menghujat Linggom. Bukan karena Linggom masih menyisakan serpihan-serpihan cinta di relung hatinya, bukan pula karena malam itu masih ada harapan akan terjadi sebuah keajaiban: Linggom tiba-tiba datang menemuinya dan berkata sudah membatalkan perkawinannya. Ia ingin, di tengah persoalan dirinya dengan Linggom, harus dibuat pagar pembatas, yang tak perlu dimasuki orang lain, kendati yang memasukinya berstatus orangtua atau saudara kandung. Walau amat kesakitan ditinggal Linggom, ia ingin dirinya saja yang menanggung derita, seberat apapun itu.
Dan, maksud kepulangannya ke Hatoguan itu, tak lain untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa tegar—walau hatinya remuk. Juga untuk menyerahkan oleh-oleh istimewa untuk perempuan yang melahirkannya, dua potong bahan kebaya buatan Paris dan sarung songket Palembang yang kebetulan amat ia sukai warna dan motifnya.
***
TARINA benar-benar tak tidur. Tubuhnya bagai patung di tengah jendela depan rumah orangtuanya. Matanya terasa perih, mungkin karena semalaman melek. Ditatapnya pematang-pematang sawah dan hamparan danau yang mulai jelas terlihat karena pantulan cahaya matahari fajar, ditambah bias sinar rembulan yang sudah tertutup perbukitan Ulu Darat.
Tak lama lagi lelaki yang sekian lama mendebarkan jantungnya itu akan resmi dimiliki perempuan lain.
Langkahnya perlahan menuju kamar tidur adik-adiknya lalu merebahkan tubuh di sisi Sinta. Tak seberapa lama kemudian ia dengar ibunya bangun dan bersibuk di dapur. Tarina berusaha memejamkan mata, sayangnya pikirannya kembali mengelana.
Dadanya berdentum-dentum tatkala terbayang perjalanan Linggom dan Riana menuju gereja—diikuti rombongan orangtua, handaitolan, tetangga–yang harus melintasi jalan di depan rumahnya. Belum yakin pula ia apakah benar-benar siap menyerahkan ulos bittang maratur yang sudah dibungkusnya dengan kertas kado warna ungu itu.
Tiba-tiba ibunya membuka pintu, menghampirinya, dan dengan suara pelan membangunkannya.
Tarina masih memejamkan mata.
“Bangun dulu kau Inang, sebentar saja,” ulang ibunya. “Nanti kau teruskan pun tidurmu.”
“Kenapa, Mak?” Tarina seolah baru terbangun dari tidur yang lelap.
Ibunya menatap Tarina beriring senyum, tapi bola matanya berkaca-kaca. Beberapa jenak mereka termangu, perasaan Tarina kembali dihanyutkan galau.
“Omak harus mengembalikan kebaya dan sarung songketmu ini, Inang…”
“Kenapa, Mak? Omak tak suka?”
Ibunya menggeleng, senyumnya tipis.
“Uangku sendiri kok, Mak, yang membeli…”
Ibunya mengangguk.
“Lalu, kenapa Omak kembalikan?”
Ibunya tersenyum lagi, “Semalaman mataku tak bisa lelap, Inang. Lalu aku berdoa terus-menerus, memohon-mohon pada Tuhan agar jodohmu ditunjukkan.”
Ibunya tak kuasa menghentikan desakan air matanya.
Tarina terdiam, menahan napas sembari melipat kedua bibirnya, “Tapi Omak jangan sedih. Tak kuat aku melihat Omak menangis.”
Ibunya mengangguk, matanya mendadak berbinar.
“Apakah Omak belum yakin permasalahanku dengan Linggom akan bisa kuhadapi dengan tenang?”
Ibunya menghapus kelopak matanya dengan punggung telapak tangannya, “Tangisku ini tangisan senang, Inang…,” ucapnya lirih. Beberapa saat ia terdiam. “Tadi di dapur, saat menanak nasi untuk sarapan kita, kudengar malaikat Tuhan membisikkan sesuatu ke telingaku.”
Dahi Tarina sontak mengernyit.
“Katanya, lelaki yang sungguh-sungguh mencintaimu tak lama lagi akan datang, Inang…”
Mata Tarina membelalak, kerut di keningnya semakin rapat.
“Kebaya-kebaya cantik inilah yang kuingin kau kenakan saat lelaki yang akan dikirim Tuhan itu menikahimu…” *** [Jakarta, Januari 2008]
7 responses to “Kebaya Pengantin”
Farida Simanjuntak
Februari 5th, 2008 pukul 11:55
Amangboru suhunan dan beberapa kawan dari blog berita mengirimkan aku cerpen ini. Sejenak aku terdiam dan menyadari keegoisanku selama ini. Aku sibuk memikirkan diriku sendiri dan tidak pernah menggubris pertanyaan mama dan anggota keluarga lainnya tentang rencanaku mulai memikirkan sebuah rumah tangga. Aku selalu merasa diriku masih seorang gadis kecil yang baru memasuki dunianya sendiri. Tapi aku tersadar kembali, umurku ternyata sudah 26 tahun. Tapi aku bersyukur karena setidaknya kak Indah sudah punya rencana untuk tahun depan. Setidaknya ada yang membuat mama dan bapak bernafas lega untuk melihat salah satu anaknya memasuki dunia perkawinan di masa pensiun mulai menyambutnya. Setelah kak Indah, berarti giliranku…….., “Oh, No…!!”
TAPPANG: Bah, memang harus gitulah… Lihat boru Tulang si Desy. Sudah punya hallet [pacar/calon suami] dia sekarang. Teman SD-nya dulu, katanya… Tulang pun senang kalo Farida cepat-cepat nikah…. hehehehe…
partalitoruan
Februari 27th, 2008 pukul 09:58
Bah bapa on, dipaboa2 naung adong hallet niba.Gabe maila iba…
TAPPANG: Ai, boasa pulak gabe maila dikau, boru. Sude kan nadenggan doi! Bah, selamat ma antong… Uda tunggulah undangannya…. Hatop-hatop, unang sanga disoru “babiat”…hehehehe…. [kenapa pula dikau anakku malu. Semua itukan baik. Selamatlah… Jangan dilama-lamain. Entar dirampas macan…]
IMAS NURHAYANI,SE
Maret 30th, 2008 pukul 15:54
Siaran Pers DPP FKI-1
BAZAR KARTINI FKI-1 2008
Departemen Pemberdayaan Perempuan Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1), organisasi kemasyarakatan independen akan menyelenggarakan BAZAR KARTINI FKI-1 2008 di Taman Lapangan Banteng Jakarta Pusat pada tanggal 17 sampai dengan 20 April 2008.
Demikian dikemukakan Hj.Sukoningsih,SE, Ketua Panitia Bazar Kartini FKI-1 2008 yang didampingi Hj.Tetty Abdi (Sekretaris) dan Nuraini pada pers (30/3) di Jakarta seraya menambahkan, peranan wanita sejak RA Kartini semakin banyak mengalami perubahan, baik dalam keluarga maupun dalam peran sertanya membangun bangsa. Peranan wanita atau perempuan semakin positif bila para kaum perempuan dapat menyampaikan aspirasinya melalui komunikasi yang tepat atau baik, efektif dan sekaligus dapat mengatur serta memanfaatkan momentum yang tepat. Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono pada suatu ketika pernah mengatakan, ”komunikasi merupakan hal penting dalam segala aspek kehidupan”. Berpijak dari hal tersebut, Departemen Pemberdayaan Perempuan Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) dan dalam rangka memperingati Hari Kartini Tahun 2008, terinspirasi untuk menyelenggarakan BAZAR KARTINI FKI-1 2008.
“ BAZAR KARTINI FKI-1 2008 merupakan ajang atau sarana kaum perempuan yang tergabung di Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) untuk melakukan komunikasi ktif dan dalam melaksanakan peran sertanya dalam membangun bangsa. Selain itu BAZAR KARTINI FKI-1 2008 juga diharapkan menunjang program pemerintah dalam mensukseskan Visit Indonesia 2008,” sebut Hj.Sukoning,SE dengan menguraikan, tujuan dari pelaksanaan BAZAR KARTINI FKI-1 2008 diantaranya adalah, m embudayakan komunikasi aktif bagi kaum perempuan dalam menyalurkan aspirasinya, mengoptimalkan peran serta kaum perempuan dalam pembangunan bangsa melalui kreatifitas dan karyanya, memberi motivasi dan meningkatkan kesadaran sesama kaum perempuan untuk terus meningkatkan perannya sebagai salah satu tiang agama dan negara dan bangsa, memberi kesempatan kepada kaum perempuan Indonesia untuk menampilkan hasil karya, kreatifitas dan sumbangsihnya dalam kemandiriannya dan menghargai kaum perempuan yang telah berhasil dengan karya dan kreatifitasnya untuk lebih termotifasi dalam berkarya dan berkreatifitas yang lebih baik. Bagi yang ingin menjadi peserta BAZAR KARTINI FKI-1 2008 dapat menghubungi Sekretariat Panitia:Gedung Dewan Pers. Jalan Kebon Sirih No.32-34 Jakarta Pusat. Tlp.021 3503349,3864167. E-Mail:satufki@gmail.com. Website:www.apindonesia.com.
Jakarta 30 Maret 2008
Ttd
M.Julian Manurung
Ketua Umum DPP FKI-1
agust hutabarat
Desember 18th, 2008 pukul 15:16
Aku suka ceritanya amang,,
sebuah cerita romantika hidup,,
tidak hanya sekedar keindahan kata-kata,,
namun begitu menyentuh ke setiap sendi2 kehidupan orang Batak,,,
Horas
TAPPANG:
Betul yang kau bilang itu, amang. Karena cerita ini sangat menarik, makanya saya minta izin ke lae Suhunan Situmorang untuk posting di blog ini. Saya selalu menyukai cerita-cerita lae Suhunan ini. Lae itu selalu kuat mensingkronisasi budaya Batak dalam cerita-ceritanya. Saya sampai pernah membuat sinetron FTV Minggu dari cerpen beliu ini. Wajar saja saya acung jempol ke lae ini, karena sebagai pengacara, lae ini juga masih sempat-sempat menulis cerita-cerita menarik.
Bah, Hutabarat pulaknya kau… Hutabarat apa, dan nomor berapa? Saya Parbaju no. 17. Gbu.
agust hutabarat
Desember 20th, 2008 pukul 11:33
Hutabarat parbaju Raja Na Godang Amang tua no 18,,
horas lah ya ,,, Amang tua
TAPPANG:
Horaslah, amang. Sehat-sehat selalu, and Met merayakan Natal & Tahung Baru
agust hutabarat
Desember 26th, 2008 pukul 15:51
Selamat Natal Juga amang Tua,,
mampir2 lah ke Blog ku ya amang tua,,
trus kasi saran lah dulu buat anak mu ini.
TAPPANG:
Lho, blogmu apa namanya? Isi aja di URL komentar.
agust hutabarat
Desember 28th, 2008 pukul 14:31
iya amang tua, memang belum ku isi.