Rura SilindungJam

Tinggal memasang tali, lalu dimasukkan ke lobang sarung, sudah bisa ditarik ulur persis layar opera.

 

TIBA-TIBA aku diliputi kesedihan dan rindu. Pikiranku berangkat sudah menjemput kenangan masa kecil. Aku ingin kembali ke masa itu. Ceria penuh canda bersama teman-teman bila musim panen padi telah tiba. Bikin layangan dari lembar buku tulis. Kami sebut layangan siborok [siborok; anak kodok yang baru menetas].

Tarutung, kota kelahiranku, yang lebih puitis dengan sebutan Rura Silindung, adalah sekeping cakram yang tak mungkin terhapus dari memoriku. Begitu banyak kenangan yang kutinggalkan di sana. Tak terbilang keindahan masa kecil yang telah kureguk. Hidup dengan segala permainan anak-anak yang sangat alami.

Aku seperti baru tersadar. Tiga tahun lagi usiaku sudah berdiri di atas monumen setengah abad. Mungkin tak lagi banyak yang kuimpikan untuk kuraih dalam hidup ini. Terlalu capek rasanya. Bisa membiayai hidup istri dan anak-anak, ya wis toh!

Ketika diusia remaja, aku sering merasa kasihan dan leceh melihat orang yang sudah berumur. “Yeah, orang ini hidupnya tinggal sebentar lagi…” – Aku begitu bangga dengan arogansi masa intelektualitas remajaku. Aku pikir, aku tidak akan pernah tua. Kalaupun tubuh boleh menua, namun kegairahan “birahi” semangat jiwaku harus tetap muda.

Aku salah! Hidupku ternyata bukan total milikku. Ada kodrat alam. Ada kekuatan Sang Pencipta yang tak bisa kutepis. Seiring proses penuaan diri, pola pikir dan cara pandangpun berubah. Justru semakin merasa tua, aku kian sering diliputi kerinduan. Banyak kerinduan yang mucul di benakku. Aku rindu kampung halaman. Aku rindu masa kecilku. Aku rindu aroma jerami padi yang dibakar di sawah. Aku rindu suasana Tarutung yang sejuk, nyaman, dan kekeluargaan. Aku rindu menangkap ikan mas di kolam oppung [kakek]. Aku rindu wanginya pohon natal pinus. Aku rindu berjumplitan mandi di sungai – Aek Ristop. Aku rindu…

Sedih sekali rasanya aku tidak bisa lagi kembali ke masa itu. Walau masa itu tetap di tempatnya, namun tidak akan pernah lagi aku bisa mengunjunginya. Masa lalu memang tidak akan pernah beranjak dari tempatnya. Setiap jejak langkah akan membeku kokoh tanpa pernah bisa dicairkan. Ah, mungkin aku terlalu sentimentil…

Sekilas Kenangan

Sebelum kami pindah ke tengah kota Tarutung, aku masih ingat rumah kami di daerah Huta Baginda, persis di pinggir jalan raya. Di rumah induk ada 2 kamar tidur. Ruang tamu berbatas dengan ruang keluarga. Menuju dapur di belakang yang berderet dengan beberapa bilik kamar, harus melalui koridor pendek beratap. Sumur bersebelahan dengan ladang tetangga yang sering kami panggil; Oppung Gunni. Anak oppung Gunni pintar-pintar dan sudah pada merantau. Ada anaknya pernah menjadi rektor salah satu Universitas Swasta.

Di samping rumah induk terdapat garasi besar tempat bis Martimbang kami parkir kalau pulang dari Medan antar sewa. Aku suka sekali memanjat tangga di belakang bis itu, bergaya bak kondektur. Lalu naik ke bagasi atas. Di sana terdapat kotak besar, yang dulu sering disebut peti pos. Padahal, isinya cuma terepal pembungkus barang penumpang bila hujan turun.

Kalau bis Martimbang dengan nomor pintu 26 itu sedang ke Medan, garasi besar itu sering aku pergunakan untuk tempat pementasan “opera-opera”. Aku suka sekali menonton opera Serindo bila sedang pagelaran di Tarutung. Bersama teman; Pariang Hutagalung, Soduon Siahaan, Anto dan Aman Siahaan [si kembar], Torus Sihombing, Manahan Marpaung, dan teman-teman perempuan lain, kami sering menirukan pementasan Serindo. Diam-diam aku mengambil sarung-sarung inang [mama] untuk kujadikan layar. Tinggal memasang tali, lalu dimasukkan ke lobang sarung, sudah bisa ditarik ulur persis layar opera. Biasanya, teman-teman lain yang mau menonton harus bayar tiket dengan sepotong kayu bakar. Kala itu kompor masak belum populer di masyarakat. Wiiihhh…, betapa alaminya kehidupan kami kala itu!

Waktu itu aku baru duduk di bangku SD, akhir tahun 60-an. Aku lumayan nakal kepada tiga kakak perempuanku. Merasa anak lelaki paling tua, aku suka se-enaknya berulah. Menginjak lantai papan yang baru dipel pakai air campur solar. Katanya biar berkilat. Aku paling senang kalau hari pasar telah tiba. Di Tarutung pasar hanya dua kali seminggu, Rabu & Sabtu. Tapi pasar besarnya cuma hari Sabtu. Inang suka membawa kue dan pisang. Kadang juga cendol yang rasanya enak banget. Aku masih ingat, di balairung pasar Tarutung ada penjual cendol yang sangat laris. Dia sudah terkenal walau pelanggannya cuma berdiri menikmati cendolnya. Kalau rewelku lagi datang, aku sering ngotot ikut ke pasar. Sambil menangis, aku terus merengek. Inang akhirnya mengalah, namun setelah mencubit keras perutku. Hehehehe…, aku nakal, ya, waktu kecil.

Menjelang kenaikan ke kelas 6, kami pindah lebih ke tengah kota. Jalan D.I Panjaitan, bersebelahan langsung dengan sungai – Aek Sigeaon. Teman-temanku pun bertambah dengan anak-anak kota. Aku mulai mengenal nonton bioskop. Di Tarutung cuma ada 2. Bioskop si Elling dan si Tengkong [maaf, kalau salah menulis namanya].

Bisnis among [papa] makin lancar. Inang membuka toko yang lumayan besar. Sedang among tetap jadi kontraktor. Gaya hidupku makin kekota-kotaan. Among sangat tidak suka kalau anak-anaknya nonton film – gak tahunya sekarang aku malah kerja di bidang itu. Kalau ketahuan menonton film, pulangnya pasti kena pukul gagang sapu. Tapi, aku tidak pernah kapok. Film yang kusukai [sampai sekarang] kungfu/silat dan cowboy. Untuk memenuhi kebutuhan “anak kotaku” itu, aku suka menilep uang penjualan toko.

Memasuki masa sekolah lanjutan di SMP 1 Sigompulon, Tarutung, aku mulai puber dan sudah berani naksir cewek. Tentu butuh uang. Soalnya, di Tarutung ada tempat-tempat yang enak untuk pacaran. Rambing di sekitar Hutabarat, Parsalakan di sekitar Pancur Napitu, Parhonasan di sekitar Si Arang Arang, permandian air panas di Sipoholon dan Hutabarat, dan Aek Rara [air soda] di daerah Parbubu.

Bersama teman-teman, aku juga suka ke kolam renang, Sembat, yang berada di gunung yang melatari daerah tangsi. Aku tidak tahu bagaimana dulu kolam renang ini bisa dinamai Sembat. Kami suka diliputi rasa takut bila ke Sembat ini. Soalnya kami harus menyurusi lereng gunung yang ada hutan pinusnya. Sepi sekali! Kota Tarutung memang seperti kuali yang dikelilingi oleh pebukitan. Itu makanya disebut Rura Silindung [Lembah Silindung]. Bahkan ciri khas untuk lebih mengenali Tarutung adalah gunung – Dolok Martimbang, yang menjulang tinggi.

Merasa tak pernah ketahuan, aku makin berani ngutilin uang inang dan among. Kebutuhan untuk berlagak bersama teman-teman makin tinggi pula. Sasaranku bukan lagi laci toko. Aku tahu, bila proyek yang dikerjakan among sudah Berita Acara, maka uangnya akan banyak di laci lemari. Aku menyimpan duplikat kunci lemari dan lacinya. Jika among udah pergi ke lokasi proyeknya, aku segera masuk kamarnya. Di laci lemari itu banyak sekali gepokan uang. Aku terlalu bodoh, atau mungkin terlalu polos. Aku pikir, dengan mengambil selembar uang dari tiap gepok, among pasti tidak tahu. Serasa pencuri yang baik, selama seminggu aku mengambil selembar dari tiap gepokan uang. Ternyata, inilah awal “malapetaka” dalam hidupku, setidaknya untuk saat itu. Tiba-tiba among marah sekali. Rupanya dia malu ketika menyetor uang itu ke rekeningnya di bank. Orang bank heran, kenapa dari setiap gepok uang selalu kurang satu lembar. Matilah, kau nak!

Aku harus meninggalkan segala kesenangan di Tarutung. Among memaksa aku agar melanjutkan sekolah di SMP 1 Balige. Berharap ada “pertobatan”. Kebetulan Tulang [abang inang] tinggal di Soposurung. Kalau tidak salah ingat, Tulang ini dulunya pensiunan Kepala Sekolah SMEP. Selama sekolah di Balige ini, aku lumayan merasa tersiksa. Air susah. Listrik pun belum ada. Sepi sekali. Kalau mandi harus menuruni bukit di bawah jembatan Soposurung. Wiiihhh…! Tersiksa sekali. Nyuci pakaian pun harus sendiri. Aku ingin pulang ke Tarutung.

Tak kuat hidup di Soposurung, Balige, aku ngotot melanjutkan sekolah di Tarutung. Mungkin karena kasihan, inang setuju asal tidak lagi seperti dulu. Aku berjanji akan bersikap baik. Nyatanya hanya bertahan beberapa bulan. Kembali pergaulan “kotaku” mempengaruhi. Sekolah tidak beres alias bolos mulu sama teman-teman. Sering pada mata pelajaran tertentu kami loncat dari jendela yang langsung berhadapan ke jurang bukit. Sekolah ini memang terletak pada undakan lereng bukit. Jadi sangat strategis untuk “kabur” dari kelas, dan menghilang di jurang yang memiliki jalan tikus.

Kesabaran among habis. Begitu hasil pengumuman lulus SMP 1976, yang ditempelkan di papan pengumuman kantor Departemen Penerangan Tarutung diterbitkan, aku dipaksa berangkat ke Jakarta. Betapa hancur dan sedih hatiku. Tarutung yang begitu kucintai tak lagi akan kulihat. Tak akan kucium lagi aroma jerami padi yang dibakar di sawah. Aku langsung BTL [Batak Tembak Langsung] naik kapal Tampomas. Selama 4 hari tiga malam di lambung kapal yang kayak tempat orang pengungsi itu, aku selalu menangis. Kenangan-kenangan di Tarutung begitu dalam dan berat untuk kutinggalkan…

Kota Tarutung yang sejuk memang tak terlupakan. Awal “malapetaka” yang kupikirkan ketika pertama kali berangkat, ternyata menjadikan diriku jadi orang yang sangat mandiri. Se-muda usia itu aku harus jauh dari orangtua. Mengurus diri sendiri. Walau Tulang Rawamangun [adik Tulang Balige] kehidupannya sudah lumayan, namun kami bere-berenya [keponakan, yang tinggal di rumah itu, ada juga anak kakak inang], harus mencuci pakaian masing-masing. Tiap jam 05.00 subuh, aku harus bangun dan mencuci mobil Tulang. Kadang juga disuruh ngepel rumah. Lalu berangkat dua kali naik bis ke SMA II PSKD di daerah Jatinegara.

Kini aku menyadari, mungkin kalau dulu tetap tinggal bersama among dan inang, aku akan menjadi manusia kolokan. Tidak mandiri. Bahkan hidupnya akan stagnan. Itulah yang kulihat pada teman-teman seusiaku ketika aku pulang ke Tarutung. Mereka tetap seperti dulu. Hanya usia yang makin tua, sehingga mereka lebih menyibukkan diri di lapo tuak. Tarutung memang kota kecil di lembah. Walau tidak ada maju-majunya, namun kenangan masa kecilku itu tetap indah bagi hidupku.

Tahun 1991 amang dan inang pindah ke Medan. Praktis jika mudik dari Jakarta, tidak lagi ke Tarutung. Terakhir aku berkunjung tahun 1998. Rumah Oppung di Sipolas, Hutabarat Parbaju Julu masih kokoh berdiri. Tapi tidak se-enak dulu lagi. Terlalu berisik dengan kendaraan yang lalu-lalang karena persis di pinggir Jalinsum [Jalan Lintas Sumatera]. Dulu jalan ini hanya jalan tanah berbatu. Aku suka sekali ke rumah oppung jalan kaki dari rumah di kota. Sambil jalan bisa sekalian nyari batu rese [batu kecil-kecil yang berkilau, tapi tidak bening. Licin dan enak dipegang].

Tarutung! Memang tak tak mungkin kulupakan. Aku sih berpikir, kalau hari pensiunku nanti akan tinggal di Tarutung. Aku ingin kembali mereguk kenangan masa lalu itu. Enak kali, ya? ***