KETIKA malas otakku lagi kumat, taklah bisa kuajak berpikir untuk menuliskan sesuatu hal. Sementara jiwa hanya bisa berontak merasakan kegelisahan. Ada-ada saja otakku mau-maunya bermalas pikir. Namun karena ingat perkataan guru dulu; tulislah apa yang kau rasakan, tulislah apa yang kau lihat, tulislah apa yang kau dengar – maka kucurahkan kegelisahan jiwa ini dalam kalimat-kalimat pendek. Aku tidak merasa diri seorang penyair, dan memang bukan penyair. Yeah…, kita anggap saja tulisan di bawah ini bukan puisi. Itu aja kok repot, celetuk si guru bangsa, Gus Pur…
D i a m
seharusnya kudiamkan
rasa cinta yang merindu
biar diamlah kesunyian hati
tak perlu mengenal getar purba
aku sudah punya diam
yang membeku kelu
masih juga berusaha meronta
padahal, jiwa telah kutidurkan
diam!
kataku…
“apa nanti kata tetangga”
masih juga ingin meronta
kucekik kau!
terbunuhlah diamku
di atas tahta cinta…
Masih Ada Cahaya
ragumu tak akan melahirkan damai
bicaralah! buka mulutmu
bila mataharimu terasa mencabik
kenapa harus bimbang?
segelap apapun hidup
sebias cahaya akan menolong
Kepada Pemilik Sungai Bening
[Hanna Fransisca, seorang sahabatku yang humanis, dan sangat sosial, yang kadang membuatku shock oleh lakunya yang selalu tulus. Puisi jelek ini menjadi komentarku di blognya – atapsenja.wordpress.com]
sungai bening itu milikmu
mengalirlah terus menuju keabadian kasih
itulah jiwamu
yang selalu bias menyejuki yang lemah
seandainya makin banyak sungai sebening sungaimu
perbedaan itu tak akan melahirkan angkara murka
sehingga mengalirlah seluruh sungai bening itu
menuju lautan
kumpulan kebeningan
maka,
cahaya dunia tak lagi buram
alirkan terus sungai beningmu
menyentuh rawa rawan pinggir kali
melepas dahaga para kaum papa
adalah kau mutiara dalam bening sungaimu
2 responses to “Aku Bukan Penyair”
hanna
April 1st, 2008 pukul 20:44
Bang, terimakasih banyak, ya. Aku sangat terharu namaku ada di sini. Tak bisa banyak berkata-kata jadinya. Ai… aku terlalu dipuji, nih. bisa besar kepala nanti.
Puisi-puisinya bagus, agak emosionil, menyentuh…
sekali lagi terimakasih puisinya, ya.
TAPPANG:
Hehehe… Aku memang selalu berusaha bertindak seperti motto di blogku ini: Apa Adanya, Itulah Hidup – Kalaupun Hanna merasa itu pujian, tapi emang faktanya dirimu seperti itu. Yang penting jangan keterusan besar kepalanya. Nanti dikira orang penyakit hidrosefalus…hahahaha… Harus seperti padi; makin berisi makin merunduk… Salam hangat untukmu.
Panda
April 2nd, 2008 pukul 21:42
sebetulnya, aku bukan penyair, sangat tak cocok dengan judul postingan ini. nyatanya, dasyat bah!
TAPPANG:
Toe ma lae… asal ma ngan keluar dari utok-utok i...hahahaha… [gak pa-palah, lae. Yang penting udah keluar dari otak].