puisi
Menyebut diri seorang penyair, sama halnya Menunggu Godot

 

 

KETIKA malas otakku lagi kumat, taklah bisa kuajak berpikir untuk menuliskan sesuatu hal. Sementara jiwa hanya bisa berontak merasakan kegelisahan. Ada-ada saja otakku mau-maunya bermalas pikir. Namun karena ingat perkataan guru dulu; tulislah apa yang kau rasakan, tulislah apa yang kau lihat, tulislah apa yang kau dengar – maka kucurahkan kegelisahan jiwa ini dalam kalimat-kalimat pendek. Aku tidak merasa diri seorang penyair, dan memang bukan penyair. Yeah…, kita anggap saja tulisan di bawah ini bukan puisi. Itu aja kok repot, celetuk si guru bangsa, Gus Pur…

cowboy

D i a m

seharusnya kudiamkan
rasa cinta yang merindu
biar diamlah kesunyian hati
tak perlu mengenal getar purba

aku sudah punya diam
yang membeku kelu
masih juga berusaha meronta
padahal, jiwa telah kutidurkan

diam!
kataku…
“apa nanti kata tetangga”
masih juga ingin meronta

kucekik kau!
terbunuhlah diamku
di atas tahta cinta…

Bunga Siluet

 Masih Ada Cahaya

ragumu tak akan melahirkan damai
bicaralah! buka mulutmu
bila mataharimu terasa mencabik
kenapa harus bimbang?
segelap apapun hidup
sebias cahaya akan menolong

 

komik

Kepada Pemilik Sungai Bening

[Hanna Fransisca, seorang sahabatku yang humanis, dan sangat sosial, yang kadang membuatku shock oleh lakunya yang selalu tulus. Puisi jelek ini menjadi komentarku di blognya – atapsenja.wordpress.com]

sungai bening itu milikmu
mengalirlah terus menuju keabadian kasih
itulah jiwamu
yang selalu bias menyejuki yang lemah

seandainya makin banyak sungai sebening sungaimu
perbedaan itu tak akan melahirkan angkara murka
sehingga mengalirlah seluruh sungai bening itu
menuju lautan
kumpulan kebeningan
maka,
cahaya dunia tak lagi buram

alirkan terus sungai beningmu
menyentuh rawa rawan pinggir kali
melepas dahaga para kaum papa
adalah kau mutiara dalam bening sungaimu