Si entong

“Gue tahu odol lo apa…! Gue tahu pasta gigi lo apa…!” Lho? Emangnya odol sama pasta gigi ndak sodaraan ape?

USAI MAKAN SIANG. Berteduh di depan lobby kantor seraya menyulut sebatang rokok-ismeku, saya bertemu dengan seorang ilustrator musik sinetron/film. Perbincangan tentu saja sekitar produksi film di negeri ini. Ada pemikiran sumbang yang terurai dalam dialog sesaat. “Kok, sineas negeri ini gak mau belajar gimana konsep pra produksi film Hollywood, ya?”

Pertanyaan itu wajar terlontarkan dalam perbincangan kami siang itu. Bukan ingin mau sok idealis, tapi gimana agar film negeri ini sedikit punya greget di kancah perfilman sejagad. Bukan cuma jago kandang yang juga sering dimaki anak negeri. Belum lagi para rekan sineas yang masih setia pada pakem produksi film tahun 70-an, mulai gelisah melihat perkembangan film negeri dewasa ini. Mungkin, karena belakangan dari infotainment atau dari mulut sineas itu sendiri terucap pernyataan yang membuat telinga kaget dan sontak menggetarkar hati: “Si Anu bikin film berjudul… cuma seminggu… Si Bunu malah cuma sekian hari dengan low budget….”

“Eh, bikin film ato sinetron di negeri ini kan gampang. Punya koneksi dan pintar jual omongan, jadilah kau sutradara, penulis skenario, cameraman atau yang lainnya,” ujar si teman editor yang juga nimbrung dalam pembicaraan.

Aku jadi teringat pada teman-teman yang alih profesi di dunia perfilman negeri ini. Tadinya si teman itu cuma script lapangan, ujug-ujug sudah jadi penulis skenario. Tadinya si teman yang lain cuma seorang art atau penata lampu, ujug-ujug sudah jadi sutradara.

“Tuh! Benarkan! Bikin film di negeri ini gampang baget,” sambar rekan si Ilustrator musik, seraya tersenyum menunjukkan giginya yang kurang rapi.

“Enak, ya, di negeri ini jadi orang sineas,” timpal seorang penulis skenario yang nyeniman (seniman) banget dengan rambut gondrong dan berpakaian rada urakan. Teman ini sudah agak berumur. Jadi, jarang dapat job dari produser karena dianggap terlalu idealis. Padahal, ide-idenya banyak yang brilian. Bahkan ketika zaman film layar lebar berjaya, beliau ini sudah pernah dapat piala Citra sebagai penulis skenario terbaik. Tapi, yang begini-gini malah sering ditakuti para produser yang cuma berpikir kapitalis. Belumlah saya pernah bertemu dengan seorang produser film yang yang menomor-duakan profit. Makanya anak negeri ini belum bisa dikategorikan sebagai penonton yang apresiasif.

“Gue juga bingung nih…,” sambar saya tidak ingin membiarkan pikiran terlena dalam kebodohan mikirin para produser yang gak punya atensi apa-apa pada pesan moral untuk anak negeri ini. “Tidak punya kedalaman bisa menghasilkan sinetron rating, yang menjadi dipertuan agung oleh stasiun TV dan pemasang iklan…”

“Itulah film negeri kita,” teman si Ilustrator musik, juga kurang semangat. Karena dia sendiri tidak pernah merasa tertantang untuk bikin ilustrasi musik film atau sinetron. Pasalnya, semua diatur oleh produser. Musiknya harus banyak berbunyi, jreng… jreng… jreng… lalu gambar terlihat zoom in-zoom out dengan cepat, tidak jelas apa maksudnya selain bikin mata sakit. Atau, kadang gambar di-slow motion seakan ketegangan bisa tercipta di sana. Padahal, untuk penekanan emosi mimik tidaklah harus gitu-gitu amat.

Wajar saja teman si Ilustrator itu gak mood-mood banget bikin ilustrasi musik sinetron/filmnya. Entah apa enaknya itu di kuping para produser berazas kapitalisme itu, selain meniru-niru ala film dari negeri Shahrul Khan. Padahal, ilustrasi musik sangat berperan penting dalam membangun suasana dan emosi sebuah gambar film. Tidak asal jreeennngg…!

Saat nulis artikel ini pikiran saya memang lagi males mikirin kerjaan kantor. Tiba-tiba intra-mail komputerku kasih tahu ada imel yang masuk. Aku lihat pengirimnya, Rila, si sekretaris boss yang lumayan cantik. Saya baca imel Rila: “Buat rekan-rekan tim kreatif dan produksi, kalo mo ikut nonton bareng di PIM (Pondok Indah Mall), bisa ambil tiket di Rila…” Saya langsung ke tempat Rila dan menanyakan film apa? “Love Is Cinta, pak,” sahut Rila antusias. Karena setiap ada nonton bareng dari kantor, ujung-ujungnya usai nonton, sang Boss suka ngajak makan bareng juga sambil minta pendapat tentang film yang baru ditonton.

Sebenarnya, males juga saya ikut. Bukan apa-apa. Saya belom melihat ada film negeri ini yang layak ditonton, kecuali Nagabonar 2, yang lumayan bagus digarap lae kita si Deddy Mizwar. Tapi karena tiket udah keburu dibeli dan “anak-anak” editor pada ogah ikut, saya terpaksa ikutan. Belum lagi saya kurang mood nulis cerita film yang dipesan teman. Padahal, di otak udah ketemu basic story yang aku anggap sangat menarik untuk diangkat ke layar lebar.

Usai nonton, hatiku mangkel sudah. Untung boss ngajak makan bakmi (ndak usah kale, ye, nyebutin nama restorannya, soalnya kagak bayar iklan). Gimana ndak kesal melihat film kacangan begitu. Mosok sepanjang film cuma teriak-teriak dan nangis doang. Kalo sedih masih lumayan. Ini malah nyebalin. Udah gitu, dialog-dialognya banyak yang garing dan pengulangan yang tidak berarti. Mungkin pembuatnya akan berdalih “penekanan emosi”. Dan yang bikin saya makin e’nek ada dialog si cowok bilang: “Gue tahu odol lo apa…! Gue tahu pasta gigi lo apa…!” Lho? Emangnya odol sama pasta gigi ndak sodaraan ape?

Kalo gak sedikit terpaksa dari kantor, males banget deh mo nonton tuh film. Tapi ada hikmahnya juga sih datang nonton ke PIM untuk lihat film kacangan itu. Syukur banget penontonnya ndak ada. Ini berarti bahwa penonton negeri kita ini sudah menuju ke tahap penonton yang apresiasif. Tidak mau menonton film yang oleh teman-teman yang punya milis tentang film negeri ini di internet dikasih simbol 5 kancut alias 5 celana dalam.

Pikiran saya kontan teringat ujar-ujar seorang sutradara besar negeri, masih seorang Batak, yang bilang;

“Emangnya bikin film itu gampang?”

“Nah, lho?!” ***