potret diri-2

Di Negeri aku mengaku berbangsa, harga idealisme tak ubahnya manusia terpinggirkan. Entah dia itu disamakan dengan pengemis, pengamen, tukang pulung, gembel, lebih tinggi setingkat; tukang asongan di prapatan lampu merah.

Seorang bule yang kuanggap sebagai guru menulisku berkata; “Seorang penulis pemula haruslah berlatih dengan menulis 10 menit tanpa berhenti.” – Artinya, ketika akan menuliskan ide yang muncul di benak, kita harus menulis sesuai apa yang terbersit di pikiran. Karena tak jarang, seorang penulis jadi stagnan ketika tidak tahu lagi apa yang hendak ditulis, atau dari mana lagi dia akan memulai. Dan, ini aku praktekkan ketika pertama membuat keputusan akan memilih profesi sebagai penulis, atau juga jurnalis. Hasilnya, dalam menulis 10 menit tanpa berhenti itu, banyak ide-ide baru yang muncul, yang akhirnya bisa aku bilah-bilah menjadi satu keutuhan cerita baru.

Ketika aku sempat kuliah di STP (Sekolah Tinggi Publisistik) sekarang bernama IISIP; aku sangat terkesan dengan “doktrin” seorang dosen kami waktu itu; “Tulislah apa yang kau dengar, apa yang kau lihat, dan apa yang kau rasakan. – Aku amini ujaran ini ke dalam diriku dan mendapatkan banyak keinginan untuk menulis segalanya. Entah kenapa aku tidak mau terus kuliah waktu itu. Setahu ingatan aku sih, karena waktu itu sudah terbius honor [kecil] dari cerpen dan novelet yang dimuat di koran dan majalah. Belom lagi keinginan yang tinggi untuk berkarya di dunia film.

Aku mungkin terlalu idealis, walau sekarang rada berkurang karena kebutuhan anak dan istri, sehingga kesempatan yang datang sering kuabaikan. Pernah salah satu PH [Production House] memberi aku kontrak eksklusif untuk puluhan episode sinetron. Kontrak telah dibuat. Tapi, baru berjalan satu episode, aku sudah rewel karena tak ingin terlalu diintervensi. Soal intervensi untuk kebaikan karya, aku mungkin masih bisa toleran. Nyatanya sang produser itu menyuruh aku menulis ulang ke dalam bahasa Indonesia skenario yang didatangkan dari kampungnya si Shahrul Khan. “Ya, tak maulah aku…!” – Akhirnya aku gak dikasih kerjaan, walau sih udah sempat dapat DP puluhan juta. “Bo’do amat,” pikirku gak mau pusing.

Sejak berpikir untuk kecimpung ke dunia tulis menulis [semasa SMA puisi-puisi dan beberapa cerpen sudah dimuat di koran], aku membuat janji dengan diri sendiri agar selalu jujur dalam berkarya. Tidak akan menjiplak, atau jadi seorang plagiator. Seseorang yang tidak jujur dalam berkarya, lumbungnya pasti digerogoti tikus-tikus, dan tidak akan pernah mencapai ketinggian yang menjadi acuan orang lain. Setahu aku, karya tulis seseorang harus bisa memberi pencerahan pada orang lain. Entahlah dengan cara pandang penulis-penulis lainnya. Seorang seniman tulis harus menggenggam erat kejujuran

Itulah sebagian idealisme yang mungkin menurut sebagian orang, aku ini “tolol”. – Tapi lagi-lagi; Bo’do amat! Suka suka akulah…