Mereka yang bepikiran hebat, membicarakan ide-ide. Mereka yang berpikiran sedang, membicarakan peristiwa. Mereka yang berpikiran sempit membicarakan orang lain.
Ungkapan di atas adalah buah pikir Eleanor Roosevelt, isteri Presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin Delano Roosevelt.
diaryblogdotcom [17 April 2008]. Begitu membaca ungkapan tersebut, aku terpana dalam diam. Pikiranku kontan tergerus menatap diri. Bukankah ungkapan itu membicarakan tentang diriku, tentang manusia? Ada apa rupanya dengan kedirian manusia? Sebegitu jelekkah tabiat mahluk berderajat paling tinggi dari semua ciptaan Tuhan itu?
Seumur baya seperti sekarang, baru kali ini aku bertanya pada diri sendiri: Siapkah saya jadi manusia terhadap manusia lainnya? – Bingung sekali aku mau menempatkan diriku di antara ketiga ungkapan Eleanor itu. Apakah aku sudah menjadi manusia hebat yang selalu membicarakan ide-ide, sehingga manusia lainnya terberkati dari gagasan-gagasanku itu? Atau, apakah aku menjadi manusia berpunya pikiran sedang yang hanya jago membicarakan peristiwa tanpa memberi solusi – pintar jadi pengamat doang, bicara berapi-api di media massa, tapi malah menambah rancu persoalan? Atau, bahkan; apakah aku cuma seorang manusia yang berpikiran sempit yang kerjanya selalu membicarakan orang lain, terutama kejelekan-kejelekannya demi ambisi pribadi?
Secara jujur harus kuamini; menjadi manusia itu memang dilematis. Di sisi lain aku harus patuh pada ajar-ajar agama, sementara pada lain sisi aku harus pula memenuhi kodrati kebutuhan hidup di permukaan bumi. Aku harus melawan orang yang ingin merampas hak hidupku. Egoisme! Aku bisa makan tiga kali sehari, sedang manusia lainnya untuk makan sekali saja harus memeras otak mencari cara.
Dari ketiga ungkapan Eleanor itu di posisi yang manakah sebenarnya aku berbuat dalam kehidupan? Karena, aku mungkin akan iri melihat teman pada naik mobil ke kantor, karena aku tidak mampu beli. Aku mungkin akan menjadi sirik melihat rumah tetangga yang bagus dan mewah, karena aku tinggal di rumah kontrakan berhimpit. Aku mungkin akan merasa menyesal karena isteri teman lebih cantik dan modis dari isteriku. Aku mungkin akan cemburu karena teman sekantor dekat pada pimpinan, sedang aku sukanya cuma bernarsis diri. Aku mungkin akan jadi perampok untuk memberi makan anak-bini, karena pendidikanku rendah. Aku mungkin tidak merasa puas hanya sebagai Menteri, karena lebih enak jadi Presiden. Aku mungkin akan membayar dukun, paranormal, atau dedemit untuk menulah sainganku, karena jabatannya itu adalah ambisiusku dalam karier. Aku mungkin akan bergabung pada salah satu partai, karena sudah putus asa jadi pengangguran terus. Atau, mungkin juga aku belum siap jadi manusia seutuhnya?
Aku selalu menekankan pada teman-teman; Biarkanlah hidup ini mengalir tanpa beban. Dengan begitu, virus stroke akan melewati jalur pesakitanmu. Entahlah dengan pemikiran rekan-rekan [?] ***
11 responses to “Siapkah Saya Jadi Manusia?”
Farida Simanjuntak
April 22nd, 2008 pukul 07:20
Horas Tulang…..
Memang sulit menjadi Manusia yang seutuhnya. Kadang aku pun berpikir, memang kita sudah tercipta sebagai seorang manusia tapi apakah kita sudah menjalankan tanggung jawab sebagai seorang manusia dalam arti sebenarnya sesuai dengan tujuan TUHAN menciptakan kita sebagai makhluk ciptaanNYA tertinggi ?????
Kalau ungkapan diatas menjadi tolak ukur untuk arti “Kemanusiaan” maka bagiku tinggal melihat segala aspeknya dan sesuaikan dengan apa yang sudah kita buat. Pastinya kita sudah pernah memberi ide yang berarti bagi orang lain, kita juga pernah mengupas suatu peristiwa sebagai wujud kepedulian dan pastinya kita sering membicarakan orang lain.
Sebenarnya kita sudah menjalankan kemanusiawian kita hanya saja kita lihat lebih berat di mana kita berpatokan…
Tapi yang pasti aku ingin menjadi seorang manusia….
TAPPANG:
Horas juga bere. Baik-baik saja kan di Malaysia?
Kedirian manusia memang tetap berpulang kepada manusia itu sendiri, bagaimana harus bersikap sebagai manusia seutuhnya. Yang pasti, semua agama mengajarkan untuk saling mengasihi, saling menolong, saling menghormati, dan lain sebagainya…
Siallagan
April 28th, 2008 pukul 01:06
horas lae. lama tak berkunjung. trimakasih untuk tulisan indah ini. membacanya, sama seperti bercermin. ada dunia di belakang tengkuk. hehe
TAPPANG:
Horas juga lae. Aku selalu berpikiran, manusia harus selalu bercermin dari pemikiran manusia lainnya secara positif.
hanna
Mei 4th, 2008 pukul 17:39
Hati kita ialah ladang berkah bagi dunia. Karena dari hati inilah jejak budi berasal. Maka, marilah kita berkomunikasi pada hati kita. Langit di atas bumi di bawah. Di tengah sana bukankah masih ada yang kita sebut dengan ruang udara? Langit dan bumi bertentangan tetapi kenapa mereka bisa berdampingan hingga terciptalah yang kita namakan dunia.
Bila yang di atas dapat mengendalikan diri dan murah hati bukankah yang di bawah akan dengan senang hati melayani? Manusia ibarat perahu, hati ibarat air, katanya sih, hehe. Jika air mengalir bersama perahu, perahu akan berjalan laju. Namun, bila air menentang perahu maka perahu akan tenggelam.
TAPPANG:
Hanna emang top deh… Silahkan pembaca menyimaknya…
Okta Sihotang
Mei 10th, 2008 pukul 20:40
horas lae, salam dari medan 😉
TAPPANG:
Horas juga lae. Salam buat orang Medan. 🙂
tobadreams
Mei 13th, 2008 pukul 08:08
Wah sedang berkontemplasi rupanya laeku ini bah. Kalau anak gaul sekarang bilang,”dalem banget” hehehe…
Sering-sering kontemplasi itu bagus, apalagi di zaman serba tergesa-gesa ini. Kita terseret-seret oleh perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat, dan tidak pernah ada kesempatan untuk mengendapkan pengalaman dalam perubahan-perubahan itu. Dengan kontemplasi kita bisa menemukan kembali diri kita dan bertanya : apakah aku ingin di sini dan begini ?
Hebatnya laeku ini, permenungan itu dibagikan kepada setiap pengunjung blog ini. Aku jarang melakukannya Lae, tapi setelah membaca artikel lae ini terpikir juga : why not ?
btw aku mau nitip link postinganku mengenai BATAK KEREN, lengkap dengan profilnya :
Mauliate
Horas
TAPPANG:
Hehehe… Laeku ini bisa aja. Bukankah “wajib” hukumnya, setiap penulis harus bisa berbagi pemikiran kepada orang lain?
Wah, hebat juga tuh halak hita bisa punya maskapai penerbangan. Oya, lae… kok beberapa kali aku ke Toba Dream [sekali sama pemilik gubuk “atapsenja”], lae gak ada tuh? Unang pa sibuk lae na masi hepeng i…
Marudut Pasaribu
Mei 16th, 2008 pukul 18:06
Horas Lae,
Baru pertama kali berkunjung sudah mendapat kuliah filsafat di blog ini. Beberapa menit terpaksa aku terdiam untuk menelaah diriku. Termasuk yang manakah aku? Sepertinya aku memerlukan bantuan psykolog untuk memastikan: what kind of people am I? Hehehe…
TAPPANG:
Hehehe… Selamat berkunjung lae… Toe, tu jabu hamu lae… Waallaahh, kok jadi ngerepotin pulak tulisanku ini sama lae, ya… Tapi, gak usah ke psikiater kale, lae. Berdoa dan yakin, mungkin itu obat yang mujarab… hahahahaa…
nindityo
Mei 17th, 2008 pukul 06:11
wah saya bener-bener tertohok nih bang..
ternyata saya type yang plinplan.. kadang mikir sempit, sedang, pernah juga mikir besar.
kalo sedang bingung malah mikirin ide-ide berdasarkan suatu peristiwa sambil ngomongin orang.. nasib.. nasib
tapi betul banget yang abang bilang.. kalo cuma ngomong tanpa kasih solusi cuma akan menambah persoalan. jadilah bagian dari pemecah masalah dan jangan jadi bagian dari masalah, begitu kan bang..
TAPPANG:
Hahaha… Sip…siip! Betul itu, dik! Aku yakin, bentar lagi Nindityo akan menemukan sejatinya dirimu. Siiplah…!
tobadreams
Mei 17th, 2008 pukul 12:02
Dago tahe, hebat ni laengkon ba, bisa punya privilese mengawal pemilik atap senja yang kukagumi secara diam-diam hehehe….
Mungkin pas Lae dan Hana ke TD, aku pas nggak di sana; jadinya nggak pas untuk niat ketemunya. Paling safety Lae, mintalah nomor HP-ku ke ito desy hutabarat yang sattik itu; supaya bisa janjjian dulu.
Bukan sibuk cari sihumisik lae. Karena pas-pas aja hehehhe..
Horas Lae kandung.
TAPPANG:
Bah, cemburu pulak laeku ini… Heheheh… Waktu itu aku pengin kenalin si Amoy Singkawang itu ke lae Suhunan. Kenapa gak datang waktu peluncuran buku mas Sawali di TIM? Kan ditelepon ama Hanna.
hanna
Mei 19th, 2008 pukul 13:21
Namaku Hanna lagi, bukan Hanny, Bang.
TAPPANG:
😀 Maklumlah, udah STW… Iya deh… Hanna… Tuh, udah gue bagusin…
Acy
Juli 10th, 2008 pukul 10:39
Bang….
Manusia emang ga sempurna tapi jangan sampai ketidaksempurnaan mereka menjatuhkan manusia lain bukan. Bukan manusia hidup dengan manusia lain dan ada frame lingkungan…ck ck ck…been there done that by seeing many people like those within my life…Salute…
TAPPANG:
😉 Akhirnya muncul juga si neng ini… Botullah yang kau bilang itu… Dalam kekurangan dan kelebihan, seharusnya manusia itu saling menghargai, tanpa berusaha memprovokasi. Nanti aku ke blog, ya…
hendrawati
Februari 28th, 2009 pukul 01:23
salam kenal,
Wah, filosofi yang Anda tawarkan sulit untuk benar-benar dijalani. Manusia lemah, mudah tergoda. Apalagi kalau sudah disudutkan oleh kebutuhan hidup yang hakiki …kurasa, sudah kelilipan matanya dan tidak bisa lagi melihat banyak hal dengan jelas.
Tetapi saya gembira dan bersyukur, masih ada satu orang yang bergiat menyebarkan filosofi yang mulia itu. Andai sepertiga saja jumlah manusia yang hidup dengan filosofi seperti itu … ai, ai, alangkah makin indahnya kehidupan di muka bumi.
salam,
TAPPANG:
Salam kenal juga… Kecenderungan manusia adalah selalu ingin memaksakan kehendaknya, seakan-akan dia lebih kuasa dari Sang Pencipta. Yang pasti sih, aku selalu berusaha menerima apa adanya hidupku… [seperti taglineku di blog ini] – Semoga. Mari kita sama-sama berusaha untuk yang terbaik kita lakukan dalam hidup ini tanpa melihat perbedaan… Horas!