ETKarikatur AmericaKarikatur America2

“kalau kamu mau belajar jadi orang gila, lahaplah semua sinetron kesukaanmu itu.”

 

AKHIR-AKHIR ini saya pulang kantor selalu on time. Memang saya sengaja karena musim hujan yang kadang tidak tahu diri jadwal datangnya. Ngerti sajalah. Kalau Jakarta diguyur hujan sedikit saja, macetnya sudah ke mana-mana. Berdesakan di biskota pun rasanya sangat tidak enak. Segala macam aroma cepat menyebar oleh udara lembab yang membuatnya makin terasa basi. Dan, saya pikir; Jakarta sudah sulit berubah menjadi kota yang nyaman, aman, dan lancar. Ibukota negara ini sudah terlalu komplit dengan permasalahan. Jakarta akan tetap menjadi kota tua renta dengan infrastrukturnya yang makin amburadul.

Hari masih di awal malam ketika saya tiba di tempat mondokan. Setelah mandi dan salin pakaian rumah, saya langsung nongkrong di depan televisi, ruang tamu yang lumayan sempit. Di kamarku memang ada televisi. Tapi, karena belakangan ini angin selalu bertiup kencang, antenanya jadi muter gak jelas arah. Gambarnya jadi ber-dangdut-ria menyakitkan mata. Saya malas memperbaiki antena itu karena harus naik ke atap di atas lantai 2 rumah pemondokan. Jadi ambil praktis saja, nonton di ruang tamu dengan chanel tv kabel. Gambar bersih dan banyak pilihan acara televisi luar negeri. Nonton televisi negeri sendiri, rasanya sudah muak dengan sederet acara-acara tak bermutu.

Bila hari libur, Sabtu-Minggu, saya bisa jadi seorang yang egois di pondokan. Dua hari penuh, saya hampir menguasai tontonan televisi di ruang tamu itu. Saya memang orang yang kurang suka keluyuran di luar rumah mencari hiburan. Kalau bosan di rumah terus, paling juga ke mall Ambasador nyari film-film bagus sebagai refrensi untuk kerjaan kantor.

Mungkin bukan cuma saya yang tingkat stressingnya lumayan “naik daun”. Saya yakin, rekan senasib para “gladiator” penumpang kendaraan rakyat juga mengalami hal yang sama. Sudah hujan-hujanan, sepatu kotor, macetnya minta ampun, para pengamen dan pengasong turut menambah keriuhan stres, masih lagi harus bersesak di dalam biskota. Kalau sudah begitu, inginnya setiba di rumah mau rilekskan pikiran yang capek dengan hiburan. Seperti menonton acara televisi yang menghibur sambil makan malam. Wuuiiihhh! Otakpun kontan direfresh. Nyatanya di pemondongkan, saya masih harus bersaing dengan pembantu untuk memilih acara tontonan di televisi.

Kalau sisi “malaikatku” lagi mood, saya masih mau mengalah ikut pembantu nonton sinetron kesukaan mereka [Oh ya, pembantu di pemondokan ada 2 orang]. Bila sinetron yang mereka tonton itu bermutu masih lumayan. Ini sudah stripping [tiap hari tayang back to back], ceritanya sama semua. Judulnya pun setali tiga koin. Cinta Bunga-lah, Cinta Indah-lah, Cinta Fitri-lah, dan entah cinta apa lagi tuh?! Saya gak habis pikir hang di mana otak para produsernya bikin judul yang gak penting-penting amat.

Ada lagi production house yang semua produksinya bikin judul cuma satu kata dengan menyebut semua nama manusia di muka bumi ini, atau kata yang dianggap sudah mewakali cerita sinetronnya. Padahal sangat tidak nyambung. Gimana produksi film/sinetron negeri ini bisa jadi tuan di rumahnya kalau produsernya terkesan arogan. Mungkin di otak para produser yang selalu hang itu; Yang penting produksi. Mumpung lagi dekat sama orang programing televisi. Baahh…?!!

Yang nyesakin lagi, saya justru harus bersaing dengan pembantu cuma untuk menonton sinetron murahan kayak gitu, yang menurut AC “si malaikat rating” Nielsen sangat disukai penonton. Eh, penonton yang mana sih maksud mereka? Kelas pembantu? [Maaf. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan profesi pembantu rumah tangga karena mereka memang kita membutuhkan. Tapi secara intelektual??…]

Saya sangat-sangat menghargai karya-karya anak negeri sendiri. Semasih karya itu bisa mengangkat harkat bangsa ini, kenapa tidak? Namun sinetron-sinetron kita itu lho?? Hampir semua tokoh ceritanya saya sebut “orang gila”, karena suka ngomong sendiri. Konyolnya, hampir disetiap scene dan episode selalu terjadi hal itu. Makanya saya selalu bilang kepada pembantu kami; “kalau kamu mau belajar jadi orang gila, lahaplah semua sinetron kesukaanmu itu.”

Sah-sah saja pada aksi/reaksi tokoh cerita ngomong sendiri, yang dalam skenario disebut V.O. [Voice Over]. Tapi tidak menjadi disetiap scene harus dimunculkan. Terjadi pun hal demikian karena ada yang penting ditekankan. Kalau di sinetron negeri kita ini, tidak! Tokoh ceritanya ngomong sendiri justru mengutarakan maksudnya untuk scene berikutnya. Ini kan pengulangan audio yang diaplikasikan ke visual. Sangat pembodohan! Sinetron kayak ginilah yang disukai pembantu kami.

Saya punya pengalaman di kantor. Ada seorang penulis skenario yang nyambi ke perusahaan kami karena sebenarnya dia kontrak eksklusif di salah satu PH. Oleh pimpinan, si penulis ini dibanggakan sebagai penulis rating [entah apa maksudnya dengan sebutan penulis rating ini]. Tadinya yang menjadi script editornya salah seorang rekan kerja. Namun dia menolak karena alasan tertentu. Oleh pimpinan kreatif dialihkan ke saya. Tidak masalah, walau sebenarnya saya rada gondok juga dengan istilah; Penulis Rating itu.

Kebiasaan saya membaca skenario selalu dengan teliti. Saya selalu detail memperhitungkan logika dan dampak psikologisnya. Soal tatabahasa, nanti sajalah. Toh, mereka tidak mau menulis novel sastra. Nah, begitu skenario episode pertama saya dapat, baru membaca dua scene, perut saya kontan mual. Scene satu yang sudah memakan satu halaman, tokohnya ngomong sendiri. Cut To ke scene dua, masih juga ngomong sendiri. “Ini apa?!” – kesal hati saya marah sekali. Penulis-penulis seperti inikah yang disebut Penulis Rating? Bah, apa pulak nanti kata dunia?

Dari ruang meeting, tempat saya biasa ber-sunyi-ria, langkahku cepat menuju ruang kerja pimpinan kreatif. Saya langsung meletakkan skenario di hadapannya. Wajahku sangat tidak enak dipandang. Pimpinan saya ini kebetulan mantan seorang musikus dan pencipta lagu. Istri orang lagi. Dia menatap heran ke saya.

“Kenapa, bang?” tanya dia sambil meraih skenario yang saya letakkan di meja kerjanya.

“Saya mau muntah baca skenario itu, mbak. Serius! Perut saya kontan melilit baru baca dua scene,” jawabku dengan mimik orang mau muntah. Emang benar mau muntah. “Masya dua scene tokohnya ngomong sendiri. Suruh dibaca bos dulu deh.”

Pimpinan kreatifku kontan beranjak ke ruang kerja bos [produser]. Aku kembali ke bilik kerjaku dengan pikiran yang dongkol. “Penulis rating apaan?? Menulis skenario aja gak becus,” rutuk hatiku.

Tak lama, pimpinan kreatif mendatangiku dan mengatakan kalau bos pun menilai skenario itu jelek. Dalam hati saya tertawa. Bukannya mereka yang membanggakan penulis itu sebagai penulis rating? – Sialnya, setelah sinetron itu tayang ratingnya jauh panggang dari api. Untuk level 40 besar pun, ratingnya gak masuk. [kapan-kapan saya akan menulis tentang orang-orang karbitan di belakang produksi sinetron negeri ini].

Pembantu saya beranjak dari duduknya. Saya sadar kalau sinetron kesukaannya sudah rolling title. Langsung remote saya tekan, nonton film dari negeri George W. Bush. ***